Tuuutt … tuuuuttt… “aak .. lagi dimana? Pengen curhat ..”, dengan
penuh semangat. “Assalamu’alaikum Ayunda sayang..” cepat dipotong oleh Mulana.
Maulana tahu benar dengan sifat adik sepupunya yang satu itu. Jika sampai
Ayunda menelpon duluan tanpa perlu dikorek-korek terlebih dahulu, berarti ada
yang salah dengannya. Tersipu malu Ayunda mendengar kata-kata kakaknya. “hehehe
wa’alaikumsallam aak, maaf .. habis aku sudah tidak sabar menceritakan yang
satu ini”. Memang sudah satu bulan ini ada hal yang sangat mengganggu pikiran
Ayunda. Sosok perempuan yang pintar namun terlihat sombong bagi yang belum
mengenalnya, pemalu dan tidak akan berbicara sebelum di ajak ngobrol ini tidak
pernah sekalipun membicarakan tentang laki-laki. Tapi kali ini berbeda, ada
seorang laki-laki yang mampu merebut perhatiannya. Maulana tahu betul dengan
keinginan adik sepupunya itu, jika Ayunda bisa tertarik maka laki-laki itu
pasti memiliki sesuatu yang lebih dimata Ayunda.
Benar saja, dari obrolan telepon
Maulana sudah dapat mengerti laki-laki seperti apa Aditya itu. “aku nggak
percaya loh ak kalau di kampus kita itu ada cowok seperti itu .. kirain cuma
aak ku seorang ..” tukasnya sambil tertawa. Aditya Alfairuz nama itu yang mulai
masuk daftar dalam buku agenda Maulana. Ia ingin menyelidiki apakah laki-laki
itu baik untuk adiknya atau tidak. Maulana bukan tipe orang yang sembarangan
mengizinkan adik-adiknya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kalimat yang
sering diucapkannya adalah kata pacaran
itu tidak ada dalam kamus keluarga, kalau memang dia niatnya baik pasti mau menunggu
hingga tiba waktunya. Alhasil semua adik-adiknya harus menuruti, toh itu
juga sudah jelas dilarang dalam Al-qur’an. Tidak sia-sia ia belajar agama di
Pondok Pesantren selama tiga tahun.
Di dalam kelas tampak Ayunda sedang
berbicara dengan Adit, tentu saja mereka tidak hanya berdua. Ada Nourma yang
selalu setia mendampingi Ayunda kemanapun. Mereka berdua memang sudah
bersahabat sejak duduk di SMP hingga sekarang tinggal menanti detik-detik
pemindahan kuncir toga. “Ay, gimana, sudah cerita ma Ak Maulana?? Terus
responnya apa??” tanya Adit. Ayunda yang mendengarnya hanya bisa tersenyum
malu. “aak bilang tunggu hingga waktunya tepat. Kewajiban kita belum selesai.
Kalau waktunya sudah tepat, dengan senang hati aak akan membatu kita. Namun
hingga menunggu waktunya, kamu harus tetap menjaga semuanya agar tidak ternoda
dan salah dimata agama”. Dengan senyum mengembang Aditya meninggalkan mereka
berdua. Nampak dari jauh ia menuju masjid kampus. Ia ingin menceritakan
semuanya pada_Nya. Ia ingin membagikan kebahagiaannya. Kebahagian bahwa ia
sudah mendapat restu dari Aak Maulana, karena itu lah syarat yang di ajukan
oleh Ayunda sebelum meminangnya langsung kepada orangtuanya di kampung.
Selama perjalanan pulang ke rumah
Ayunda berjalan kaki sendiri. Jarak rumah kontrakannya hanya 800 meter. Ia
sudah terbiasa berjalan kaki, hitung-hitung olahraga katanya. Namun hari ini
berbeda, Ayunda merasa ada seseorang yang terus menatapnya dari jauh. Tiba-tiba
seorang laki-laki menyapanya. “Ayunda Nur’anissa kan?? Masih ingat dengan ku nggak??” ucap
laki-laki itu. Ayunda diam sejenak. Ia pun memperhatkan laki-laki itu dengan
seksama. Beberapa saat kemudian, “ooohh astagfirullah .. Kak Addin kan? Temen aak ku waktu
di Pondok kan?”,
terbayang siluet kenangan lama saat melihat wajah kak Addin. Ia adalah
laki-laki pertama yang disukai Ayunda. “alhamdulillah kamu masih inget nis”. Yah Addin selalu
memanggil Ayunda dengan sebutan Nisa, panggilan yang berbeda dengan
teman-temannya yang lain. Setiap Ayunda menanyakannya Addin hanya tersenyum.
Ayunda tidak tahu bahwa nama almarhumah Umi Addin adalah Annisa, seperti
namanya. Ternyata Addin sekarang sudah menjadi seorang dokter spesialis
penyakit dalam. Namun ada hal yang tidak diketahui Ayunda, bahwa Addin sudah
lama menyukainya. Malah Addin sudah menceritakan isi hatinya kepada Maulana
yang pada saat di Pondok pesantren merupakan teman sekamarnya dan Maulana
sangat setuju dengan rencana Addin. Sayang beribu sayang beasiswa yang
diperoleh Addin mengharuskannya menjalani pendidikan di negeri tetangga. Pupus
sudah harapan Addin. Namun ia sudah bertekad saat pendidikannya telah selesai,
ia akan menemui Nisa dan langsung meminangnya. Setelah bertukar nomor handphone
dan alamat rumah, mereka berduapun berpisah. Dari jauh nampak Addin masih memperhatikan
Nisa. Muslimah yang ia kagumi yang tidak berubah hingga sekarang meskipun waktu
telah lama bergulir.
“astagrfirullah .. Adit kamu pasti
lupa minum obat kan!!!
Sudah berapa kali Bunda bilang, kamu tidak sayang dengan lambung mu itu, apa
perlu Bunda meminta Ayunda utuk selalu mengingatkan mu??”, suara Bunda Adit
menggelegar di dalam kamarnya. Adit yang nampak pucat, meringkuk di dalam
selimut tebalnya. Dia paling malas jika di suruh untuk minum obat. Dia tidak
mau selalu bergantung dengan obat-obatan dokter. Tapi apa daya maag kronis yang
menggerogoti lambungnya sejak duduk di kelas 3 SMA membuatnya tak berkutik.
Dengan tangan gemetaran Adit mengambil obat di laci tempat tidurnya. Empat
butir pil warna-warni seperti coklat diteguknya dengan susah payah. “ini sudah
Adit minum Bund, sekarang Adit mau tidur..”, tukasnya. Bunda hanya bisa
menghela nafas. Ia sangat menyayangi anak satu-satunya iu. Tak heran jika ia
sangat selektif menentukan calon pendamping untuk putranya. Dari sekian banyak
perempuan yang di ajukan oleh Adit, hanya mata bening Ayunda lah yang membuat
hati Bunda luluh.
Di rumah kontrakan yang kecil,
Maulana baru selesai sholat Ashar ketika Ayunda membuka pintu. Dengan sigap ia
mengambil barang belanjaan Ayunda. Ia tersenyum geli melihat wajah adik
sepupunya itu. Dengan tas besar di pundak, kantong kresek penuh di tangan kanan
dan kirinya. Tubuhnya yang mungil terbungkus gamis dan jilbab biru. Namun
selelah apapun Ayunda senyum indah selalu terukir di wajahnya, mata beningnya
selalu dapat menyejukkan hati yang melihat. Mereka berdua sudah terbiasa
memasak bersama. Setelah Ayunda sholat, mulai lah pembagian tugas. Ia mengupas,
memotong dan mencuci sedangkan Maulana memasaknya. “wahh beruntung sekali
perempuan yang bisa menjadi istrimu ak, sudah pintar, pandai tilawah, jago
masak lagi, …”. Maulana hanya tersenyum. “aak kan sudah cukup umur, masa’ belum ada yang
mau sih, gimana kalau Yunda jodohin ma temen Yunda, itu tuh si Ranti??” oceh
Ayunda. Tteegggg. Hati Maulana terasa mau copot. Ranti, nama yang selalu
tersimpan rapi di hatinya. Memang hanya Ranti yang mampu mengalihkan dunia
Maulana. “memangnya Ranti belum ada yang punya?? Dia kan cantik masa’ ga ada yan mau sih..”
sambung Maulana. “ihh kata siapa? Banyak lo yang sudah mengantri, tapi kalau
kata Ranti sih dia masih menunggu seseorang yang ia sukai, ia yakin orang itu
akan menemuinya.. hmmm tapi siapa ya ak, aku jadi bingung ..”. Maulana temangu,
dalam fikirannya terlintas, apakah dia yang masih di tunggu Ranti?
Adzhan magrib berkumandang.
Alhamdulillah ibadah mereka telah sampai. Setelah melepas dahaga ditenggorokan,
saatnya melepas dahaga dijiwa. Aliran air wudhu yang dingin menentramkan jiwa
mahluk yang gersang. Setelah selesai makan mereka berdua memulai aktivitas
masing-masing. Tokk tokk tokkk “assalamu’alaikum .. “ terdengar suara
sayup-sayup dari luar. Tugas Maulana yang membukakan pintu. “Addin?? Kamu Addin
kan? Wahh
sudah lama sekali, kenapa kamu bisa tahu kami disini? Sudah jadi orang suskses
kamu ya ..”. Addin hanya tersenyum. Dari depan pintu ia bisa melihat kepala
Ayunda yang menyelinap mengintip. Setelah ngobrol-ngobrol Ayunda pun keluar
menyuguhkan minuman kepada tamunya. Dari dalam kamar ia hanya mendengar
sayup-sayup cerita mereka.
“yunda mana Bund? Kenapa dia belum
sampai?”, tanya Adit. Bunda berusaha menenangkan, “mungkin masih dijalan, dari
sekolahnya mengajarkan lumayan jauh, kamu sabar ya..”. Ayunda nampak
tergesa-gesa. Sejak mendapat kabar dari Uly sepupunya Adit, bahwa Adit pingsan saat
mengajar perasaanya sudah tidak karuan. Kondisi fisik Adit memang mulai
melemah. Apalagi sejak mulai menyusun skripsi. Stres fikiran dan badan
membuatnya cepat sekali drop. Tak terasa ruangan Adit sudah didepan mata.
Maulana yang berada disampingnya berusaha menenangkan. Wajah Adit yang pucat
ditambah lagi banyaknya infus yang menancap ditubuhnya membuat hati Ayunda
semakin meringis. “maaf saya akan memeriksa pasien sebentar..”, ucap dokter
yang baru saja datang. Tapi suara doker itu tidak menggoyahkan posisi Ayunda.
Dokter tersebut memperhatikan wajah Ayunda, wajah yang penuh kekhawatiran.
“Nisa .. kamu disini?” ucap dokter itu. Ternyata dokter yang beranggungjawab terhadap
Adit adalah dr. Addin. Dr. Addin menjelaskan bahwa kondisi Adit makin memburuk.
Lambungnya sudah rusak dan tidak dapat bekerja dengan baik lagi. Mendengar hal
itu Ayunda seperti tersambar petir. Matanya yang bening telah basah oleh
butiran-butiran mutiara. Ia sudah tidak dapat merasakan lantai tempatnya
berpijak. Beruntung Maulana dengan sigap menangkap tubuhnya yang mungil.
Maulana membisiki Ayunda untuk tetap tenang dan terus mengingat Allah SWT.
Ayunda ingin sendiri. Ia pun pergi. Tak tahu kaki ini ingin melangkah kemana.
Semua ia pasrahkan.
Tak terasa kaki itu telah membawa
Ayunda ke masjid Ash-Sholihin. Disana ia tumpahkan semua kegundahan hatinya.
Langit-langit masjid yang tinggi membuat Ayunda merasa sangat kecil. Ia merasa
seperti tidak ada apa-apanya dibanding semuanya. Ia mengadu kepada-Nya. Ia
bingung apa yang harus ia lakukan. Dari matanya yang sembab, sekilas nampak ia
melihat bayangan Adit. Seakan tangan lembut Adit membelai kepalanya. Senyuman
Adit yang ini adalah senyuman paling manis kedua sejak pertama kali bertemu.
Senyuman yang membuat Ayunda terhanyut.
….. di bawah langit-Mu bersujud… semua .. bertasbih mengucap asma-Mu .. handphone
Ayunda berdering. Dengan secepat kilat ia mengangkat telepon itu. Ternyata dari
Aak Maulana. Aditya sekarat. Tubuh Ayunda langsung lemas tak bertenaga. Siluet
kenangan indah bersama Adit kembali bergulir. Di Rumah Sakit dr. Noesmir beberapa kerabat sudah berdatangan dan
menanti dengan harap-harap cemas. Tubuh Aditya sudah masuk di ruang ICU. Ia
sedang menghadapi saat-sat kritis. Jemari Ayunda gemetaran tanpa henti. Nourma
dengan penuh kasih sayang menggenggam erat tangan sahabatnya itu. Ia tahu betul
seberapa besar rasa sayang Ayunda kepada Aditya. Tampak dari jauh dr. Addin
memperhatikan. Ia terenyuh melihat Ayunda. Ia merasa betapa beruntungnya Aditya
memperoleh cinta tulus Ayunda. Mengapa bukan dia yang mendapat perhatian penuh
Ayunda?.
Setelah keluar dari rung ICU.
Keadaan Aditya menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Aditya beruntung
dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangi dirinya. Bundanya yang
selalu ada mendampingi dan Ayunda, perempuan yang sangat ia cintai namun belum
sepenuhnya ia miliki. Terfikir olehnya bagaimana jika ia sudah tiada. Bagaimana
perasaan mereka? Aditya sedih membayangkan jika ia sudah pergi. Tubuh Ayunda
semakin kurus. Tiga bulan bolak-balik ke rumah sakit membuat daya tahan
tubuhnya drop. “jangan terlalu memforsir diri, kamu juga harus menjaga
kesehatanmu”, pesan Ak Maulana saat mengantarnya ke Rumah sakit. “ia aak ku
sayang .., hmm aak sudah siap mental apa untuk menemui bapaknya Ranti nanti
malam? Duhh pasti lagi dag dig duer tuh hatinya ..” olok Ayunda. Maulana hanya
tersenyum. Dibalik kaca matanya terlihat bola mata penuh syukur. Pinangannya
diterima Ranti dan keluarganya dan malam ini mereka akan menyelenggarakan akad
nikah di kediaman Ranti. Siang itu mereka ingin berpamitan dan mengundang
keluarga Aditya.
Setelah urusan Maulana selesai, ia
berpamitan pulang. Masih banyak yang harus ia persiapkan untuk acara nanti
malam. Ayunda mempersilahkan ia duluan, masih ada yang ingin dibicarakan
katanya. Ruangan inap itu sepi hanya ada Adit dan Ayunda. Sambil mengambil buah
untuk dikupas, ia menceritakan tentang persiapan pernikahan Aak Maulana dengan
penuh semangat. Ia tidak menyadari bahwa sepasang mata bening Aditya terus
memperhatikannya. “Yunda … “ sekali ia memanggil Ayunda namun tidak didengar.
“Yunda… Yunda ..” setelah tiga kali barulah Ayunda menyadarinya. “ya .. ada apa
Pangeran Curut, hehehe..”. Aditya tertawa mendengarnya. “Yunda sayang, jika
nanti umur ku sudah tidak sampai untuk bersama mu, maukah kau berjanji kepadaku
untuk tetap terus melanjutkan hidup dan membuka hati untuk yang lain ..” dengan
suara merintih. Ayunda yang mendengarnya langsung terdiam. Dengan cepat ia
mengendalikan perasaannya. “ahh sudah lah .. apa maksud mu berbicara seperti
itu .. aku masih ada disini untuk menunggu mu .. apa kau tidak percaya kepada
ku??”. Ayunda berusaha mengakhiri percakapan mereka. Waktu sudah menunjukkan
pukul lima
sore. Ia pun pamit untuk pulang. Ia tidak ingin terlambat pada peristiwa
penting kakaknya.
Malam itu dengan gamis biru
pemberian Bunda Aditya ia nampak cantik. Wajahnya yang manis tanpa di tambah
polesan make-up sedikitpun tak mengurangi kecantikannya. Rasanya ada yang
berbeda malam itu. Adit mengiriminya puisi-puisi indah. Sebelum berangkat ia
sempat membaca salah satu puisi itu.
Saat ku tatap langit malam
itu
Satu harapku ku gantungkan
kepada para bintang
Tetap berharap bintang itu
akan menyimpannya
Hingga saat bahagia itu
tiba
Namun aku hanya bisa diam
Saat bintang itu jatuh
Jatuh tepat di kaki ku
Apa yang harus ku lakukan?
Bergetar hati
Ayunda. Apa yang sedang di pikirkan oleh Aditya? Sejenak rasa takut itu
menghantui hatinya. Sejenak ia merasa takut kehilangan orang yang ia sayangi.
“saya terima nikahnya Ranti
Ramadania binti Ahmad dengan mas kawin tersebut tunai ..!!” ijab kabul berjalan dengan
lancar. Dengan satu tarikan nafas Maulana sudah resmi menjadi imam bagi Ranti.
Disaat yang bersamaan handphone Ayunda berdering. Tertera Bunda Adit di layar
handphonenya. Jantung Ayunda berdetang kencang. Apa yang terjadi? Suara bunda
terdengar samar-samar. Suaranya bercampur dengan isak tangis. “Yunda … Adit …
Adit … sudah tiada ..”. hanya kata-kata itu yang mampu di tangkap oleh telinga
Ayunda. Seketika ruangan itu gelap dan sunyi.
Hanya gundukan tanah itu yang
tersisa. Nisan Aditya Alfairuz terpahat indah di atas papan putih itu. Adit
hanya tinggal kenangan. Kenangan indah yang tak mungkin dapat dihapuskan dari
memori Ayunda. Orang yang sangat ia sayangi. “Lindungi dia Ya Robb .. aku
ikhlas jika memang ini yang terbaik menurut Mu ..” bisik Ayunda dalam hati.
Langit pagi yang cerah dengan awan yang beriringan menemani langkah Ayunda.
Menusuri jalan setapak meninggalkan TPU Tanjung Agung. Tampak selang beberapa
langkah sosok tegap siap menemaninya. Yah sosok dr. Addin yang tetap menjaga
hatinya, yang akan tetap menunggu hingga pemilik mata bening itu membuka
hatinya lagi.