Selasa, 28 Februari 2012

Mutiara Bening Ayunda



Tuuutt … tuuuuttt… “aak .. lagi dimana? Pengen curhat ..”, dengan penuh semangat. “Assalamu’alaikum Ayunda sayang..” cepat dipotong oleh Mulana. Maulana tahu benar dengan sifat adik sepupunya yang satu itu. Jika sampai Ayunda menelpon duluan tanpa perlu dikorek-korek terlebih dahulu, berarti ada yang salah dengannya. Tersipu malu Ayunda mendengar kata-kata kakaknya. “hehehe wa’alaikumsallam aak, maaf .. habis aku sudah tidak sabar menceritakan yang satu ini”. Memang sudah satu bulan ini ada hal yang sangat mengganggu pikiran Ayunda. Sosok perempuan yang pintar namun terlihat sombong bagi yang belum mengenalnya, pemalu dan tidak akan berbicara sebelum di ajak ngobrol ini tidak pernah sekalipun membicarakan tentang laki-laki. Tapi kali ini berbeda, ada seorang laki-laki yang mampu merebut perhatiannya. Maulana tahu betul dengan keinginan adik sepupunya itu, jika Ayunda bisa tertarik maka laki-laki itu pasti memiliki sesuatu yang lebih dimata Ayunda.
            Benar saja, dari obrolan telepon Maulana sudah dapat mengerti laki-laki seperti apa Aditya itu. “aku nggak percaya loh ak kalau di kampus kita itu ada cowok seperti itu .. kirain cuma aak ku seorang ..” tukasnya sambil tertawa. Aditya Alfairuz nama itu yang mulai masuk daftar dalam buku agenda Maulana. Ia ingin menyelidiki apakah laki-laki itu baik untuk adiknya atau tidak. Maulana bukan tipe orang yang sembarangan mengizinkan adik-adiknya untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Kalimat yang sering diucapkannya adalah kata pacaran itu tidak ada dalam kamus keluarga, kalau memang dia niatnya baik pasti mau menunggu hingga tiba waktunya. Alhasil semua adik-adiknya harus menuruti, toh itu juga sudah jelas dilarang dalam Al-qur’an. Tidak sia-sia ia belajar agama di Pondok Pesantren selama tiga tahun.
            Di dalam kelas tampak Ayunda sedang berbicara dengan Adit, tentu saja mereka tidak hanya berdua. Ada Nourma yang selalu setia mendampingi Ayunda kemanapun. Mereka berdua memang sudah bersahabat sejak duduk di SMP hingga sekarang tinggal menanti detik-detik pemindahan kuncir toga. “Ay, gimana, sudah cerita ma Ak Maulana?? Terus responnya apa??” tanya Adit. Ayunda yang mendengarnya hanya bisa tersenyum malu. “aak bilang tunggu hingga waktunya tepat. Kewajiban kita belum selesai. Kalau waktunya sudah tepat, dengan senang hati aak akan membatu kita. Namun hingga menunggu waktunya, kamu harus tetap menjaga semuanya agar tidak ternoda dan salah dimata agama”. Dengan senyum mengembang Aditya meninggalkan mereka berdua. Nampak dari jauh ia menuju masjid kampus. Ia ingin menceritakan semuanya pada_Nya. Ia ingin membagikan kebahagiaannya. Kebahagian bahwa ia sudah mendapat restu dari Aak Maulana, karena itu lah syarat yang di ajukan oleh Ayunda sebelum meminangnya langsung kepada orangtuanya di kampung.
            Selama perjalanan pulang ke rumah Ayunda berjalan kaki sendiri. Jarak rumah kontrakannya hanya 800 meter. Ia sudah terbiasa berjalan kaki, hitung-hitung olahraga katanya. Namun hari ini berbeda, Ayunda merasa ada seseorang yang terus menatapnya dari jauh. Tiba-tiba seorang laki-laki menyapanya. “Ayunda Nur’anissa kan?? Masih ingat dengan ku nggak??” ucap laki-laki itu. Ayunda diam sejenak. Ia pun memperhatkan laki-laki itu dengan seksama. Beberapa saat kemudian, “ooohh astagfirullah .. Kak Addin kan? Temen aak ku waktu di Pondok kan?”, terbayang siluet kenangan lama saat melihat wajah kak Addin. Ia adalah laki-laki pertama yang disukai Ayunda. “alhamdulillah kamu masih inget nis”. Yah Addin selalu memanggil Ayunda dengan sebutan Nisa, panggilan yang berbeda dengan teman-temannya yang lain. Setiap Ayunda menanyakannya Addin hanya tersenyum. Ayunda tidak tahu bahwa nama almarhumah Umi Addin adalah Annisa, seperti namanya. Ternyata Addin sekarang sudah menjadi seorang dokter spesialis penyakit dalam. Namun ada hal yang tidak diketahui Ayunda, bahwa Addin sudah lama menyukainya. Malah Addin sudah menceritakan isi hatinya kepada Maulana yang pada saat di Pondok pesantren merupakan teman sekamarnya dan Maulana sangat setuju dengan rencana Addin. Sayang beribu sayang beasiswa yang diperoleh Addin mengharuskannya menjalani pendidikan di negeri tetangga. Pupus sudah harapan Addin. Namun ia sudah bertekad saat pendidikannya telah selesai, ia akan menemui Nisa dan langsung meminangnya. Setelah bertukar nomor handphone dan alamat rumah, mereka berduapun berpisah. Dari jauh nampak Addin masih memperhatikan Nisa. Muslimah yang ia kagumi yang tidak berubah hingga sekarang meskipun waktu telah lama bergulir.
            “astagrfirullah .. Adit kamu pasti lupa minum obat kan!!! Sudah berapa kali Bunda bilang, kamu tidak sayang dengan lambung mu itu, apa perlu Bunda meminta Ayunda utuk selalu mengingatkan mu??”, suara Bunda Adit menggelegar di dalam kamarnya. Adit yang nampak pucat, meringkuk di dalam selimut tebalnya. Dia paling malas jika di suruh untuk minum obat. Dia tidak mau selalu bergantung dengan obat-obatan dokter. Tapi apa daya maag kronis yang menggerogoti lambungnya sejak duduk di kelas 3 SMA membuatnya tak berkutik. Dengan tangan gemetaran Adit mengambil obat di laci tempat tidurnya. Empat butir pil warna-warni seperti coklat diteguknya dengan susah payah. “ini sudah Adit minum Bund, sekarang Adit mau tidur..”, tukasnya. Bunda hanya bisa menghela nafas. Ia sangat menyayangi anak satu-satunya iu. Tak heran jika ia sangat selektif menentukan calon pendamping untuk putranya. Dari sekian banyak perempuan yang di ajukan oleh Adit, hanya mata bening Ayunda lah yang membuat hati Bunda luluh.
            Di rumah kontrakan yang kecil, Maulana baru selesai sholat Ashar ketika Ayunda membuka pintu. Dengan sigap ia mengambil barang belanjaan Ayunda. Ia tersenyum geli melihat wajah adik sepupunya itu. Dengan tas besar di pundak, kantong kresek penuh di tangan kanan dan kirinya. Tubuhnya yang mungil terbungkus gamis dan jilbab biru. Namun selelah apapun Ayunda senyum indah selalu terukir di wajahnya, mata beningnya selalu dapat menyejukkan hati yang melihat. Mereka berdua sudah terbiasa memasak bersama. Setelah Ayunda sholat, mulai lah pembagian tugas. Ia mengupas, memotong dan mencuci sedangkan Maulana memasaknya. “wahh beruntung sekali perempuan yang bisa menjadi istrimu ak, sudah pintar, pandai tilawah, jago masak lagi, …”. Maulana hanya tersenyum. “aak kan sudah cukup umur, masa’ belum ada yang mau sih, gimana kalau Yunda jodohin ma temen Yunda, itu tuh si Ranti??” oceh Ayunda. Tteegggg. Hati Maulana terasa mau copot. Ranti, nama yang selalu tersimpan rapi di hatinya. Memang hanya Ranti yang mampu mengalihkan dunia Maulana. “memangnya Ranti belum ada yang punya?? Dia kan cantik masa’ ga ada yan mau sih..” sambung Maulana. “ihh kata siapa? Banyak lo yang sudah mengantri, tapi kalau kata Ranti sih dia masih menunggu seseorang yang ia sukai, ia yakin orang itu akan menemuinya.. hmmm tapi siapa ya ak, aku jadi bingung ..”. Maulana temangu, dalam fikirannya terlintas, apakah dia yang masih di tunggu Ranti?
            Adzhan magrib berkumandang. Alhamdulillah ibadah mereka telah sampai. Setelah melepas dahaga ditenggorokan, saatnya melepas dahaga dijiwa. Aliran air wudhu yang dingin menentramkan jiwa mahluk yang gersang. Setelah selesai makan mereka berdua memulai aktivitas masing-masing. Tokk tokk tokkk “assalamu’alaikum .. “ terdengar suara sayup-sayup dari luar. Tugas Maulana yang membukakan pintu. “Addin?? Kamu Addin kan? Wahh sudah lama sekali, kenapa kamu bisa tahu kami disini? Sudah jadi orang suskses kamu ya ..”. Addin hanya tersenyum. Dari depan pintu ia bisa melihat kepala Ayunda yang menyelinap mengintip. Setelah ngobrol-ngobrol Ayunda pun keluar menyuguhkan minuman kepada tamunya. Dari dalam kamar ia hanya mendengar sayup-sayup cerita mereka.
            “yunda mana Bund? Kenapa dia belum sampai?”, tanya Adit. Bunda berusaha menenangkan, “mungkin masih dijalan, dari sekolahnya mengajarkan lumayan jauh, kamu sabar ya..”. Ayunda nampak tergesa-gesa. Sejak mendapat kabar dari Uly sepupunya Adit, bahwa Adit pingsan saat mengajar perasaanya sudah tidak karuan. Kondisi fisik Adit memang mulai melemah. Apalagi sejak mulai menyusun skripsi. Stres fikiran dan badan membuatnya cepat sekali drop. Tak terasa ruangan Adit sudah didepan mata. Maulana yang berada disampingnya berusaha menenangkan. Wajah Adit yang pucat ditambah lagi banyaknya infus yang menancap ditubuhnya membuat hati Ayunda semakin meringis. “maaf saya akan memeriksa pasien sebentar..”, ucap dokter yang baru saja datang. Tapi suara doker itu tidak menggoyahkan posisi Ayunda. Dokter tersebut memperhatikan wajah Ayunda, wajah yang penuh kekhawatiran. “Nisa .. kamu disini?” ucap dokter itu. Ternyata dokter yang beranggungjawab terhadap Adit adalah dr. Addin. Dr. Addin menjelaskan bahwa kondisi Adit makin memburuk. Lambungnya sudah rusak dan tidak dapat bekerja dengan baik lagi. Mendengar hal itu Ayunda seperti tersambar petir. Matanya yang bening telah basah oleh butiran-butiran mutiara. Ia sudah tidak dapat merasakan lantai tempatnya berpijak. Beruntung Maulana dengan sigap menangkap tubuhnya yang mungil. Maulana membisiki Ayunda untuk tetap tenang dan terus mengingat Allah SWT. Ayunda ingin sendiri. Ia pun pergi. Tak tahu kaki ini ingin melangkah kemana. Semua ia pasrahkan.
            Tak terasa kaki itu telah membawa Ayunda ke masjid Ash-Sholihin. Disana ia tumpahkan semua kegundahan hatinya. Langit-langit masjid yang tinggi membuat Ayunda merasa sangat kecil. Ia merasa seperti tidak ada apa-apanya dibanding semuanya. Ia mengadu kepada-Nya. Ia bingung apa yang harus ia lakukan. Dari matanya yang sembab, sekilas nampak ia melihat bayangan Adit. Seakan tangan lembut Adit membelai kepalanya. Senyuman Adit yang ini adalah senyuman paling manis kedua sejak pertama kali bertemu. Senyuman yang membuat Ayunda terhanyut.
            ….. di bawah langit-Mu bersujud…  semua ..  bertasbih mengucap asma-Mu .. handphone Ayunda berdering. Dengan secepat kilat ia mengangkat telepon itu. Ternyata dari Aak Maulana. Aditya sekarat. Tubuh Ayunda langsung lemas tak bertenaga. Siluet kenangan indah bersama Adit kembali bergulir. Di Rumah Sakit dr. Noesmir  beberapa kerabat sudah berdatangan dan menanti dengan harap-harap cemas. Tubuh Aditya sudah masuk di ruang ICU. Ia sedang menghadapi saat-sat kritis. Jemari Ayunda gemetaran tanpa henti. Nourma dengan penuh kasih sayang menggenggam erat tangan sahabatnya itu. Ia tahu betul seberapa besar rasa sayang Ayunda kepada Aditya. Tampak dari jauh dr. Addin memperhatikan. Ia terenyuh melihat Ayunda. Ia merasa betapa beruntungnya Aditya memperoleh cinta tulus Ayunda. Mengapa bukan dia yang mendapat perhatian penuh Ayunda?.
            Setelah keluar dari rung ICU. Keadaan Aditya menunjukkan kemajuan yang sangat pesat. Aditya beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang sangat menyayangi dirinya. Bundanya yang selalu ada mendampingi dan Ayunda, perempuan yang sangat ia cintai namun belum sepenuhnya ia miliki. Terfikir olehnya bagaimana jika ia sudah tiada. Bagaimana perasaan mereka? Aditya sedih membayangkan jika ia sudah pergi. Tubuh Ayunda semakin kurus. Tiga bulan bolak-balik ke rumah sakit membuat daya tahan tubuhnya drop. “jangan terlalu memforsir diri, kamu juga harus menjaga kesehatanmu”, pesan Ak Maulana saat mengantarnya ke Rumah sakit. “ia aak ku sayang .., hmm aak sudah siap mental apa untuk menemui bapaknya Ranti nanti malam? Duhh pasti lagi dag dig duer tuh hatinya ..” olok Ayunda. Maulana hanya tersenyum. Dibalik kaca matanya terlihat bola mata penuh syukur. Pinangannya diterima Ranti dan keluarganya dan malam ini mereka akan menyelenggarakan akad nikah di kediaman Ranti. Siang itu mereka ingin berpamitan dan mengundang keluarga Aditya.
            Setelah urusan Maulana selesai, ia berpamitan pulang. Masih banyak yang harus ia persiapkan untuk acara nanti malam. Ayunda mempersilahkan ia duluan, masih ada yang ingin dibicarakan katanya. Ruangan inap itu sepi hanya ada Adit dan Ayunda. Sambil mengambil buah untuk dikupas, ia menceritakan tentang persiapan pernikahan Aak Maulana dengan penuh semangat. Ia tidak menyadari bahwa sepasang mata bening Aditya terus memperhatikannya. “Yunda … “ sekali ia memanggil Ayunda namun tidak didengar. “Yunda… Yunda ..” setelah tiga kali barulah Ayunda menyadarinya. “ya .. ada apa Pangeran Curut, hehehe..”. Aditya tertawa mendengarnya. “Yunda sayang, jika nanti umur ku sudah tidak sampai untuk bersama mu, maukah kau berjanji kepadaku untuk tetap terus melanjutkan hidup dan membuka hati untuk yang lain ..” dengan suara merintih. Ayunda yang mendengarnya langsung terdiam. Dengan cepat ia mengendalikan perasaannya. “ahh sudah lah .. apa maksud mu berbicara seperti itu .. aku masih ada disini untuk menunggu mu .. apa kau tidak percaya kepada ku??”. Ayunda berusaha mengakhiri percakapan mereka. Waktu sudah menunjukkan pukul lima sore. Ia pun pamit untuk pulang. Ia tidak ingin terlambat pada peristiwa penting kakaknya.
            Malam itu dengan gamis biru pemberian Bunda Aditya ia nampak cantik. Wajahnya yang manis tanpa di tambah polesan make-up sedikitpun tak mengurangi kecantikannya. Rasanya ada yang berbeda malam itu. Adit mengiriminya puisi-puisi indah. Sebelum berangkat ia sempat membaca salah satu puisi itu.
Saat ku tatap langit malam itu
Satu harapku ku gantungkan kepada para bintang
Tetap berharap bintang itu akan menyimpannya
Hingga saat bahagia itu tiba
Namun aku hanya bisa diam
Saat bintang itu jatuh
Jatuh tepat di kaki ku
Apa yang harus ku lakukan?
Bergetar hati Ayunda. Apa yang sedang di pikirkan oleh Aditya? Sejenak rasa takut itu menghantui hatinya. Sejenak ia merasa takut kehilangan orang yang ia sayangi.
            “saya terima nikahnya Ranti Ramadania binti Ahmad dengan mas kawin tersebut tunai ..!!” ijab kabul berjalan dengan lancar. Dengan satu tarikan nafas Maulana sudah resmi menjadi imam bagi Ranti. Disaat yang bersamaan handphone Ayunda berdering. Tertera Bunda Adit di layar handphonenya. Jantung Ayunda berdetang kencang. Apa yang terjadi? Suara bunda terdengar samar-samar. Suaranya bercampur dengan isak tangis. “Yunda … Adit … Adit … sudah tiada ..”. hanya kata-kata itu yang mampu di tangkap oleh telinga Ayunda. Seketika ruangan itu gelap dan sunyi.
            Hanya gundukan tanah itu yang tersisa. Nisan Aditya Alfairuz terpahat indah di atas papan putih itu. Adit hanya tinggal kenangan. Kenangan indah yang tak mungkin dapat dihapuskan dari memori Ayunda. Orang yang sangat ia sayangi. “Lindungi dia Ya Robb .. aku ikhlas jika memang ini yang terbaik menurut Mu ..” bisik Ayunda dalam hati. Langit pagi yang cerah dengan awan yang beriringan menemani langkah Ayunda. Menusuri jalan setapak meninggalkan TPU Tanjung Agung. Tampak selang beberapa langkah sosok tegap siap menemaninya. Yah sosok dr. Addin yang tetap menjaga hatinya, yang akan tetap menunggu hingga pemilik mata bening itu membuka hatinya lagi.





 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar